Tobaria – Aku bahagia disini, tinggal di pinggiran Danau Toba. Memulai hidup dengan penuh kesederhanaan, semua bisa kuraih dengan semangat mudaku, rasanya tak ada alasan lain membuatku berobah pikiran, Ketika teman teman seumuranku memilih untuk meninggalkan “huta” (kampung) demi mengejar cita cita, mencari jati diri, aku lebih memilih tetap. Bagiku meninggalkan kampung itu seperti membuang emas. Aku terpana melihat keindahan kampungku, sejumlah potensi bisa kukembangkan, sejuta impian akan kuciptakan disini. Aku akan tetap memilih untuk selalu bersamamu.

Begitulah sekelumit cerita Mei Lumban Gaol (20) gadis kelahiran Desa Marbun Tonga Toruan, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang ditulis di wall facebook miliknya.

Dia gadis belia yang menjadi sosok inspirasi bagi kawula muda di kampungnya, wanita lulusan Sekolah Menegah Kejuruan ini tak merasa minder walau hanya berbekal ijasah SMK yang didapatnya tiga tahun lalu. kini dia lebih banyak menggunakan waktunya untuk bisa menunjukan kemampuannya tidak hanya di dalam rumah saja, tetapi juga tetap bisa mengimplementasikan kreativitas diri dalam pekerjaan yang digelutinya.

Mei si penjual dali ni horbo, anak ke 3 dari 5 orang bersaudara, ayahnya Melkior Lumban Gaol (57) dan ibunya Remika Simamora (56) bekerja sebagai buruh tani membuatnya mengurungkan niat melanjutkan kuliah untuk menggantungkan cita – cita.

“Kami lima bersaudara, tak tega rasanya harus membebani mereka (orang tua), niatku terpaksa kutunda dulu, nantilah kalau usahaku sudah mulai lancar baru kurencanakan kembali,” ucap Mei penuh harap.

Mei Lumban Gaol bersama anggota perkumpulan Pature Baktiraja

Kisah Mei Lumban Gaol memopulerkan dali ni horbo muncul tidak sengaja. Semua diawali tahun 2021 ketika ia bergabung dalam lokakarya pelatihan kapasitas anggota binaan Formades dan pengalaman dari orang tuanya yang juga pemilik usaha kuliner dali ni horbo kala itu, namun usaha itu tak bisa mulus karena kendala bahan baku yang sulit didapat.

Diapun memulai usaha kuliner. Baginya, dali ni horbo lebih dari sekadar kuliner biasa tetapi juga mengeratkan hubungan sesama dengan banyak pembeli sekaligus ajang promosi destinasi wisata Baktiraja.

Penganan yang diolah secara sederhana tanpa menggunakan bahan – bahan kimia itu kini banyak diminati oleh berbagai kalangan, tak hanya di seputaran kawasan Danau Toba, pemesannya pun ada dari luar daerah.

Dali ni horbo ( dali = Susu, horbo = Kerbau) adalah kuliner khas kawasan danau toba. Di Sumatera Utara sendiri, kuliner yang satu ini cukup dikenal dengan nama Keju Batak.

Bentuknya mirip tahu dengan warna putih yang khas, terbuat dari air susu kerbau murni yang diolah secara alami diatas api ditambah garam dan sedikit koagulan alami dari berbagai jenis tanaman, tapi biasanya dipakai  ekstraks daun Alo – alo (Daun Sisal = Agave Sisalana).

Dali ni horbo dalam kemasan 500 gram

Karena mengandung enzim protease yang dapat mengkoagulasi susu sampai membentuk gumpalan, kemudian disajikan dengan proses mencampur dan memasak kembali dengan campuran bumbu seperti kunyit, bawang merah, bawang putih, irisan cabe merah dan ditambahkan daun singkong yang dimasak selama 30 menit.

Meski terlihat sederhana, tidak semua piawai membuatnya menjadi sajian istimewa. Mei menjadi salah satu koki andalan. Masakannya sudah diakui berbagai kalangan dari berbagai daerah. Sebagian besar dali ni horbo dimasak di dapur rumahnya itu sebelum dipasarkan ke berbagai daerah.

“Puji Tuhan, banyak yang menggemari. Resepnya ini diturunkan ibu saya, tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi, Sama. Nah, kalau harga satu cupnya pun cukup murah, untuk ukuran 500 gram saya jual 30 ribuan yang ukuran 250 gram 15 ribuan dan untuk pemesanan bisa lewat pesan  whastaap saya di nomor +62 822-7202-6220 ” terang Mei berpromosi.

Tak hanya itu, selain menggeluti usaha kuliner, gadis belia ini juga aktif dalam organisasi pelestarian lingkungan yang mereka sebut dengan perkumpulan Pature Baktiraja. Perkumpulan yang dibina bersama temannya berperan aktif mendorong pelestarian lingkungan sekitar dan menjadi ajang promosi wisata Baktiraja. Selain itu mereka juga aktif dalam kegiatan seni dan budaya.

“Saya rasa, Baktiraja punya segudang destinasi yang belum diketahui banyak orang, ibarat emas yang masih terkubur. Selain pesona alam yang membahana untuk dikembangkan, ada wisata alam, wisata budaya, kuliner dan situs yang berusia ratusan tahun. kalau bukan kita, siapa lagi yang merawatnya,” tegasnya. (*)