Tobaria – Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di wilayah dataran tinggi dengan kesuburan tanah yang sangat baik. 

Daya dukung alam yang berlimpah menjadikan mayoritas mata pencaharian masyarakat Karo di wilayah tersebut ialah bercocok tanam.

Pengelolaan Sumber Daya Alam yang baik oleh masyarakatnya juga didukung dengan budaya pengetahuan lokal Suku Karo dalam pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan. 

Kuatnya masyarakat Karo dalam melestarikan budaya dari leluhur dipercaya menjadi salah satu alasan mengapa suku ini dianggap sangat berhasil dalam bercocok tanam.

Salah satu bentuk tradisi untuk pengelolaan pertanian ialah tradisi ngambur-ngamburi. Tradisi ini dilaksanakan pada awal masa tanam dan merupakan bagian dari tradisi besar kerja tahun.

Namun, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan oleh para petani Karo. Mereka menganggap tradisi ini sarat akan sinkretisme yang diasosiasikan sebagai hal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki agama. 

Padahal, mulanya tradisi ini diartikan sebagai wujud permohonan untuk terjaganya lahan dan tanaman yang mereka kelola.

Tradisi ini juga memiliki makna dan tujuan untuk ucapan rasa syukur dari para petani atas panen yang mereka dapatkan sebelumnya dan secara khusus tradisi ngambur-ngamburi juga dimaknai sebagai bentuk permohonan dan pengharapan agar tanaman dapat tumbuh subur, terjaga dan menghasilkan panen yang berlimpah.

Hal tersebut dapat dilihat dari isi doa permohonan yang dipanjatkan pada prosesi tradisi ini. Perlu diketahui, tradisi ngambur-ngamburi dilaksanakan ketika tanaman masuk pada fase Nimpa bunga benih.

Fase Nimpa bunga benih adalah fase saat tanaman sudah tumbuh dan berusia dua sampai tiga bulan yang dianggap sebagai salah satu fase kritis dalam sistem pertanian. Pada fase ini, tanaman rentan mengalami gagal panen akibat serangan hama.

Maka, bunyi permohonan yang dipanjatkan tersebut ialah “pit-pit mata menci, pitpit kerina mata perik, pit-pit mata binatang-binatang gelah mersik mbuah page sinisuan.” Artinya adalah “tertutup mata tikus, tertutup semua mata burung, tertutup mata hewan-hewan agar subur buah padi yang ditanam.”

Permohonan ini biasanya disampaikan oleh perwakilan anggota keluarga, seperti kepala keluarga yakni suami atau bisa juga istri. Permohonan tersebut dipanjatkan kepada roh-roh leluhur yang dipercayai oleh suku Karo masih menjaga alam semesta termasuk juga lahan pertanian mereka.

Doa permohonan yang dipanjatkan inilah yang menjadi pro dan kontra dalam pemaknaannya pada masyarakat kini.

Kebanyakan masyarakat Karo yang telah memeluk agama Islam maupun Kristen menginterpretasikan bahwasanya memanjatkan permohonan pada leluhur ataupun pada makhluk gaib lainnya adalah perbuatan yang melanggar ajaran agama dan seperti orang yang tidak beragama.

Apalagi dalam tradisi ini, terdapat sesembahan (pajuh-pajuhen) yang berisi manuk gule (ayam gulai), cimpa tuang (kue dari tepung beras), dan tasak telu (ayam yg sudah di masak lalu dicincang dengan kelapa dan daun ubi) yang dibungkus oleh bulung ujungen (daun pisang). Sesembahan ini nantinya diletakkan di tengah ladang pada saat prosesi tradisi ngambur-ngamburi.

Akibat adanya doa permohonan dan sesembahan inilah kemudian banyak para petani yang tidak lagi melaksanakan tradisi ngambur-ngamburi.

Beberapa petani merasa takut dianggap sebagai individu yang tidak beragama jika melaksanakan tradisi tersebut. Meskipun begitu, beberapa diantaranya masih melaksanakannya secara sembunyi-sembunyi dan sederhana tanpa diketahui oleh tetangga.

Prosesi Tradisi Ngambur-Ngamburi

Pada Kegiatan tradisi ngambur-ngamburi biasanya hanya dihadiri oleh anggota keluarga inti para petani yang melaksanakan tradisi.

idak ada keharusan mengundang tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat. Ditambah lagi dengan keadaan sekarang dimana tradisi ini dianggap sebagai sebuah kegiatan yang menyalahi ajaran agama.

Berikut adalah beberapa tahapan prosesi tradisi ngambur-ngamburi :

1. Tahap Persiapan

Persiapan dilakukan sehari sebelum dilaksanakannya tradisi ngambur-ngamburi. Keluarga membeli dan mengumpulkan bahan-bahan serta perlengkapan untuk lancarnya tradisi. Adapun bahan dan perlengkapannya adalah sebagai berikut.

a. Anjap

Anjap merupakan tempat sesembahan yang terbuat dari bambu hijau yang dirakit berbentuk segitiga dan diikat dengan menggunakan tali. Anjap berfungsi sebagai tempat atau wadah dari pajuhen (sesembahan).

b. Pajuhen

Pajuhen ialah sesembahan yang nantinya akan ditancapkan di tengah ladang yang berisikan beberapa bahan. Pertama, manuk gule yakni ayam kampung yang sudah dipotong dan di campurkan dengan bumbu gulai. 

Potongan ayam bagian paha atas (pipih) menjadi bagian yang disajikan untuk sesembahan. Kedua, cimpa tuang yang merupakan kue yang terbuat dari tepung beras, kelapa dan gula merah yang dicampurkan kemudian didiamkan beberapa jam. 

Setelah itu, adonan tersebut dimasak dengan cara digoreng. Ketiga, tasak telu yaitu ayam dimasak yang dicincang dan dicampurkan dengan kelapa dan daun ubi. Kemudian, ayam tersebut dicampur dengan darah ayam yang sudah difermentasi

c. Simalem-malem

Simalem-malem adalah dedaunan yang diikat yang terdiri dari bulung Sangke Sempilet (daun Gandarusa), bulung Kalinjuhang (daun Hanjuang Merah), bulung Peldang (daun Paku Sarang Burung), bulung Ingel-ingel (daun Pakis), bulung Sumbul Sumbul (daun Bambu Rejeki). 

Dedaunan yang telah diikat ini nantinya ditancapkan di sudut-sudut ladang.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah semua bahan dan perlengkapan sudah disiapkan, selanjutnya masuk pada kegiatan inti yakni pelaksanaan. Pada pelaksanaannya, tradisi ngambur-ngamburi memiliki beberapa prosesi.

a) Keluarga inti petani menuju ke lokasi pelaksanaan tradisi (ladang pertanian yang dikelola) pada waktu siang hari secara bersama keluarga. Pemilihan waktu siang hari karena adanya prosesi makan siang bersama nantinya.

b) Prosesi menancapkan anjap yang dilakukan oleh kepala keluarga, yakni suami. Wadah yang terbuat dari bambu tersebut ditancapkan tepat berada di posisi tengah ladang. Hal ini bertujuan agar pajuhen (sesembahan) yang akan diletakkan di atasnya dapat diterima oleh para leluhur dan menjaga ladang melalui bagian tengah ladang.

c) Meletakkan pajuhen (sesembahan) diatas anjap yang dilakukan oleh istri. Pajuhen (sesembahan) yang terdiri dari manuk gule, cimpa tuang, dan tasak telu diletakkan diatas anjap dan dilapisi daun pisang.

d) Prosesi penancapan bulung simalem-malem. Setelah menancapkan anjap, kepala keluarga dibantu anak laki-laki menancapkan Bulung Simalem-malem yang merupakan berbagai jenis bulung (dedaunan) yang dibungkus dengan bulung ujung (Daun Pisang). 

Ini kemudian ditancapkan di masing-masing sudut persegi ladang. Hal ini dimaknai sebagai “pagar” pembatas yang akan melindungi tanaman di ladang dari hal-hal yang berpotensi mengakibatkan kegagalan panen, seperti hama, binatang buas dan kekuatan supranatural yang dapat merusak tanaman.

e) Memanjatkan doa permohonan yang diwakili oleh suami/istri kepada leluhur untuk melindungi lahan pertanian mereka.

f) Mempersiapkan makan bersama yang dilakukan oleh para wanita dalam keluarga tersebut.

g) Acara makan bersama di pinggir ladang dan saling bercengkrama.

Nah itu dia penjelasan mengenai tradisi ngambur-ngamburi Suku Karo,  Semoga bermanfaat ya.(*)