“Dokdok rap manuhuk, neang rap manea.” Pengertian kalimat di atas adalah berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Begitulah salah satu prinsip marsiadapari, kebiasaan turun-temurun yang telah diwariskan oleh leluhur Suku Batak kepada generasinya hingga saat ini.

Marsiadapari ini adalah cara untuk meringankan suatu pekerjaan, dengan saling membantu atau gotong royong. Membantu dalam hal bertukar tenaga dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Contohnya, kita membantu seseorang yang sedang panen padi, kelak dia akan membayar dengan tenaga ketika kita membutuhkan.

Selain marsiadapari, marsirimpa juga merupakan istilah yang sama untuk gotong royong atau melakukan pekerjaan secara bersama-sama. Nah, pekerjaan saling tolong-menolong dengan nilai tukar tenaga ini, akan dilakukan secara bergiliran di ladang masing-masing.

Oh iya, aktivitas marsiadapari ini tidak hanya dilakukan dipersawahan, namun diperladangan,  membangun rumah, kemalangan  dan banyak lagi kegiatan lain. Melalui marsiadapari ini, tidak terukur nilai-nilai kemampuan seseorang dari segi kekayaan atau kemiskinan. Karena  tolak ukurnya hanyalah tentang memberi tenaga dan suatu hari menerima tenaga.

Marsiadapari membangun rumah/Ist
Marsiadapari persiapan upacara adat/Ist

Pertanyaannya sekarang adalah,  apakah marsiadapari masih ada dalam kehidupan Suku Batak saat ini?

Ya, masih ada. Walau tidak segencar dahulu kala, kemajuan zaman telah merubah segala bentuk perekonomian ke dalam nilai tukar berupa uang. Jika dahulu tenaga digantikan oleh tenaga, atau hasil ladang atau danau sebagai pertukaran ekonomi.

Saat ini tenaga manusia perlahan mulai digantikan tenaga mesin, seperti traktor, alat penanam padi, mesin pemanen padi dan banyak hal-hal yang telah berubah di zaman modernisasi ini. Selain pemanfaatan waktu pekerjaan lebih praktis, juga lebih efisien dari segi waktu dan pastinya biaya lebih irit dari memanfaatkan tenaga manusia.

Namun pada kegiatan upacara  adat, prinsip marsiadapari masih lestari hingga saat ini. Seperti acara adat perkawinan atau kematian, tradisi marhobas atau gotong royong untuk mempersiapkan acara masih diberlakukan. Maka masyarakat sekampung akan secara bersama-sama melakukan segala persiapan.

Nah, itulah kepiawaian leluhur Suku Batak di zaman dulu. Menggalang tenaga untuk bekerja sama, istilah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Yang hasilnya adalah, apapun yang dilakukan atau ditanggung bersama, bebannya akan terasa sama ringan. Kebersamaan tetaplah diutamakan demi kepentingan bersama.