Ikan istimewa dalam kepercayaan Suku Batak ada 2 jenis, yaitu ikan batak dan ikan mas.
Ikan mas lebih mudah ditemukan, karena mudah untuk dipelihara dan banyak dijual dipasar tradisional karena sudah menjadi kebutuhan sehari-hari sebagai lauk pauk. Namun ikan batak atau lebih dominan disebut ihan sangat sulit ditemukan karena keberadaannya sudah langka.
Beberapa tahun terakhir, ikan ini dianggap telah punah dari habitat aslinya di Danau Toba. Konon kepunahan ihan diakibatkan surutnya volume air di Danau Toba.
Karena menurut para orangtua, dahulu ihan batak berkembang biak dengan baik di sekitaran bebatuan di tepian Danau Toba yang ditumbuhi banyak Pohon Jajabi, ihan batak sangat menyukai buah Pohon Jajabi.
Sehingga siapa saja yang menginginkan ihan batak, pergi saja ke Danau Toba yang dipinggirkannya ditumbuhi Pohon Jajabi yang sedang berbuah.
Di antara rindangnya dedaunan dan akar besar Pohon Jajabi, yang berada di dalam air akan ditemukan banyak ikan yang sedang mencari makan. Namun hal ini hanyalah tinggal cerita turun temurun.
Ihan batak merupakan ikan yang disakralkan oleh Suku Batak, penyajiannya hanya untuk saat-saat istimewa yaitu pada upacara adat maupun upacara religius Suku Batak.
Kelangkaan inilah yang mendorong hati seorang Swarno untuk melestarikan keberadaan ihan batak. Swarno Lumbangaol adalah seorang peternak ihan batak, kelangkaan ihan batak telah menggugah hatinya untuk berusaha memelihara ihan batak.

Dia melihat tempat tinggalnya sangat mendukung, yaitu kolam ikan warisan dari kakeknya sudah tersedia dan juga terdapat aliran mata air.
Bertempat di Desa Marbun Tonga-Kecamatan Janji Raja-Kabupaten Humbang Hasundutan, Rabu 4-11-2020. Wilayah ini lebih dikenal dengan sebutan Lembah Bakkara.
Kolam yang digunakan saat ini bukanlah kolam buatannya, namun kolam keluarga yang dikelola turun-temurun untuk memelihara ikan.

Semasa hidup kakeknya memelihara ikan mas, kemudian diwariskan kepada ayahnya dan memelihara ikan nila. Setelah ayahnya wafat, Swarno memilih meninggalkan pekerjaannya di Aceh dan pulang kampung.
Selanjutnya melanjutkan pertanian warisan ayahnya dan memelihara ihan batak. Menurutnya, ihan ini harus dilestarikan dan dia berharap melalui penangkaran sederhana yang dia buat bersama adiknya harus berhasil, sehingga siapapun yang membutuhkan ihan disekitaran Lembah Bakkara tidak akan kesulitan mencarinya.
Swarno mengatakan, “Saya harus melestarikan ihan ini, saat ini banyak yang membutuhkan ihan untuk berbagai keperluan. Khususnya untuk obat maupun kebutuhan spiritual, untuk hal ini kita tidak menjual ihan tetapi kita menerima mahar dengan seikhlasnya saja.”
Masih menurut Swarno, harga ikan cukup mahal karena kelangkaannya. Secara ekonomi, perkilogram ihan bisa Rp350 ribu hingga Rp600 ribu, tergantung ukuran ihan dan bukan semata-mata karena beratnya.
Namun menurutnya, tidak jarang ada yang memberi lebih dari harga yang disampaikan. Bahkan ada yang membayar dibawah harga di atas, namun keluarga Swarno tidak pernah sampai gagal memberikan ihan karena harga yang tidak cukup.
Dia dan keluarganya meyakini, bahwa dengan berhasil merawat dan mengembangbiakkan ikan ini. Sudah menjadi berkat yang besar dan mereka sangat bersyukur dikehidupannya saat ini.
Saat ini penangkaran ihan miliknya mulai diperhatikan Pemkab setempat dan berbagai penelitian mulai dilakukan untuk mengupayakan perkembangbiakan ihan batak.

Melalui berbagai penelitian, diterangkan hal-hal sebagai penyebab punahnya ihan batak. Dan di wilayah lain di luar Kabupaten Humbang Hasundutan, pemerintah dan komunitas-komunitas pemerhati Danau Toba lainnya, telah berupaya mengembalikan populasi ihan batak melalui penaburan benih ikan sejenis yang berasal dari luar Kabupaten Toba.
Namun keberadaan ihan batak hingga saat ini belum menampakkan hasilnya.
Jika ingin melihat keberadaan ihan di alam bebas tidaklah mudah. Karena keberadaan ikan hanya akan ditemui di sungai berarus deras seperti di Air Terjun Binangalom, Air Terjun Siguragura, di Mual Sirambe dan sungai sekitaran Dairi. Para nelayan yang bisa menangkap ihan ini diyakini memiliki keahlian keistimewaan tersendiri, yaitu melalui ritual khusus.
Nah, setelah ihan disajikan disebut Dengke Simudurudur. Simudurudur dalam Bahasa Indonesia memiliki arti berderet atau berbaris, sedangkan ihan atau dengke dalam Bahasa Indonesia diartikan ikan. Jadi pengertian Dengke Simudurudur adalah, sajian ikan yang sudah dimasak dan ditata rapi berbaris di atas nasi dalam piring besar. *jmh
Beritanya menarik untuk dibaca, membuat pembaca semakin mengerti ttg adat istiadat batak terdahulu.
Namun ada sedikit redaksi yang kurang, yaitu Bakkara adalah kecamatan Baktiraja, Bukan Janji Raja. Salam sukses. Horas