Tobaria – Setiap suku di Indonesia memiliki cara unik dalam menyambut dan merayakan hari-hari besar keagamaan. Di kalangan masyarakat Batak Kristen, salah satu tradisi menjelang Hari Paskah yang masih dilestarikan hingga kini adalah Mangarihiti.
Tradisi ini merupakan bentuk ziarah ke makam leluhur sebagai wujud penghormatan, doa, serta perenungan akan makna kebangkitan Kristus dalam kekristenan.
Bagi masyarakat kristiani yang tinggal di kawasan Tapanuli, Toba dan Samosir kemeriahan paskah selalu dirayakan dengan membersihkan kuburan/makam para leluhur dan kerabat yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia.
Mangarihiti dalam bahasa Batak secara harfiah berarti “membersihkan” atau “mengangkat/mengunjungi dengan hormat”, dan dalam konteks ini, merujuk pada kegiatan ziarah ke makam keluarga menjelang perayaan Paskah.
Biasanya dilakukan beberapa hari sebelum Minggu Paskah (umumnya Kamis atau Jumat Agung), Mangarihiti adalah momen di mana keluarga besar berkumpul di kampung halaman untuk:
- Menziarahi makam orang tua, kakek-nenek, atau leluhur lainnya.
- Membersihkan makam dari semak atau rumput liar.
- Menaburkan bunga dan menyiram air.
- Berdoa bersama dan menyanyikan lagu rohani.
Mangarihiti bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Batak. Sejak zaman dahulu, ziarah ke makam telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan kepercayaan mereka.
Tradisi ini dilakukan bukan hanya untuk mengenang orang-orang yang telah berpulang, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan yang mendalam terhadap leluhur dan nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Tradisi ini juga menghidupk an kembali nilai-nilai kekeluargaan. Anak-anak diperkenalkan kepada leluhur mereka, diingatkan tentang asal-usul marga, dan diajak untuk memahami pentingnya menjaga hubungan darah serta warisan nilai hidup. Di tengah suasana hening dan sakral, tercipta juga momen hangat penuh kasih antara generasi tua dan muda.
Makam atau kuburan dibersihkan sedemikian rupa, ditata dengan baik dan ditanami bunga-bunga yang indah. Jika kuburannya sudah terbuat dari batu, maka akan dicat dan dihias lebih menarik.
Setelah makam selesai dibersihkan dan dihias, momen berikutnya adalah makan dan minum bersama. Di bawah tenda sederhana atau beralaskan tikar di dekat makam, keluarga duduk melingkar.
Hidangan khas Batak seperti ikan arsik, saksang, dan daun ubi tumbuk disajikan dengan sukacita. Makan bersama ini menjadi bagian yang sangat dinantikan karena bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang keakraban, tawa, cerita masa lalu, dan doa untuk mereka yang telah pergi.
Momen ini menegaskan bahwa kematian bukanlah akhir. Melalui Mangarihiti, kasih dan kenangan akan orang-orang terkasih terus dihidupkan—dengan cara yang hangat, sederhana, dan penuh makna.
Tidak berhenti disitu, setiap peziarah yang akan pulang dari makam leluhurnya, harus membersihkan diri dengan mencuci muka, mencuci kaki dan tangan dalam istilah Toba disebut (Marsuap).
Menggunakan air, semua keluarga harus marsuap, bahkan untuk anak-anak hingga bayi yang ikut berziarah juga harus diparsuap. Konon, kalau tidak Marsuap, arwah leluhurnya bisa datang dan menggentayangi, sehingga harus semua keluarga diparsuap.
Makna Tradisi Mangarihiti
Tradisi Mangarihiti mengandung banyak makna penting bagi masyarakat Batak:
1. Iman akan Kebangkitan
Mangarihiti dilaksanakan menjelang Paskah, yang merupakan peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Ziarah ke makam memperdalam kesadaran akan kehidupan kekal, sekaligus menjadi perenungan tentang arti kematian dan harapan akan kebangkitan.
2. Penghormatan kepada Leluhur
Masyarakat Batak sangat menjunjung tinggi nilai partuturon (silsilah) dan martabat marga. Dengan Mangarihiti, mereka menyatakan bahwa leluhur tidak dilupakan, tetapi terus dihormati dan dijunjung dalam doa serta tindakan nyata.
3. Menguatkan Ikatan Keluarga
Tradisi ini menjadi ajang reuni keluarga besar. Anggota keluarga dari berbagai daerah berkumpul, mempererat hubungan, dan saling mendoakan. Ini adalah wujud nyata dari falsafah Dalihan Na Tolu yang menjunjung tinggi harmoni dan solidaritas dalam keluarga.
4. Pelestarian Budaya
Di tengah arus modernisasi, Mangarihiti menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Batak yang sarat nilai-nilai luhur. Melalui kegiatan ini, generasi muda diajarkan pentingnya menghargai warisan leluhur dan hidup dalam nilai-nilai kristiani.
Dalam semangat Paskah, ziarah ke makam bukan hanya mengenang yang telah tiada, tetapi juga mengingatkan setiap pribadi akan pengharapan akan hidup yang kekal.
Melalui Mangarihiti, masyarakat Batak menghidupi iman Kristen dalam bingkai budaya yang luhur mengajarkan bahwa meski kematian datang, kasih dan hormat kepada keluarga tak akan pernah hilang.(*)