Tobaria – Setiap kali aku mengantar tamu menjelajahi Parapat dan Kampung Girsang, rasanya seperti memperkenalkan ruang paling berharga dari hidupku adalah sebuah rumah besar bernama Danau Toba.

Di sinilah aku menghabiskan waktuku berkarya beberapa tahun terakhir, mempelajari kearifan nenek moyang, lalu jatuh cinta pada dunia pariwisata yang memberi makna pada setiap langkahku.

Hari itu, aku kembali menjemput tamu. Mereka datang jauh dari Singapura: Rabiatul dan keluarga. Saat kutemui mereka di lobi Hotel Grand Tamaro Parapat, senyuman cerah sudah menandai awal dari sebuah petualangan yang akan mereka kenang seumur hidup.

Mereka pernah mendengar tentang Danau Toba yang indah. Tapi aku tahu, apa yang menanti mereka nanti jauh melampaui kata indah.

Menanjak ke Jantung Girsang

Panorama dari Bukit Simumbang, Kampung Girsang I, Simalungun, Danau Toba.

Kami bergerak menuju jalan menanjak yang mengarah ke Bukit Simumbang, tempat alam tampil apa adanya, tanpa riasan.

Udara pegunungan menyapa kami lembut, membawa aroma kopi, cengkeh, dan rempah yang tumbuh subur di setiap tapaknya. Aku memperkenalkan tanaman-tanaman khususnya tanaman rempah yang menjadi denyut kehidupan warga.

Dan di puncak bukit itu, tibalah kami pada sebuah panggung raksasa:
Danau Toba tersaji bagai lukisan megah, memantulkan kesunyian yang hening namun penuh cerita.

Hutan lebat di sekitarnya berdiri kokoh sebagai paru-paru yang menjaga kampung ini tetap hidup.

Menyibak Cerita di Rumah Adat

Rabiatul dan keluarganya berfoto di depan Rumah Batak Sidasuhut, Kampung Girsang I.

Petualangan berlanjut ke Huta Sidasuhut, rumah bagi sebuah Rumah Adat Batak yang kokoh seperti semangat leluhur.

Aku menceritakan makna setiap ukiran di dindingnya:

  • tentang kekuatan keluarga,
  • tentang hubungan manusia dan alam yang saling menghidupi.

Rabiatul dan orang tuanya menyimak dengan mata berbinar—seolah menemukan sejarah yang selama ini tersembunyi dari mereka. Tangan-tangan mereka menyentuh kayu tua yang tetap kokoh menghadapi zaman.

Mereka tak lagi sekadar mengambil foto—mereka ingin memahami.

Tor-Tor, Tawa, dan Pertemanan Baru

Beberapa anak di kampung ini menyuguhkan tor-tor sederhana. Awalnya mereka malu. Namun tawa kecil mulai muncul ketika mereka mencoba berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan keluarga dari Singapura itu.

Nomor telepon dan akun media sosial saling bertukar.
Sebuah persahabatan kecil tumbuh begitu saja.

Aku melihat perubahan itu:
mereka bukan lagi wisatawan.
Mereka sudah menjadi bagian dari cerita.

Kayak di Danau Toba

Rabiatul dan ibunya bermain kayak di Danau Toba International Cottage, Tigaraja, Danau Toba

Kami turun kembali ke tepi danau, menuju Danau Toba Cottage. Rabiatul dan ibunya mencoba kayak, mengayuh santai di atas air yang tenang.

“Kak, fotoin ya,” pinta mereka sambil tertawa lepas.
Momen itu terasa seperti kebebasan, sederhana namun membekas.

Perjalanan kami ditutup dengan singgah sejenak di Pantai Bebas Parapat, tempat angin senja menyisir permukaan danau pelan-pelan.

Sebelum berpisah, Rabiatul menatapku dan berkata lirih:

“Kami tidak hanya mendapat liburan…
tapi pengalaman hidup yang tidak akan kami lupakan.”

Aku tak langsung mampu menjawab.
Ada haru yang menghangatkan.
Aku hanya tersenyum.

Rabiatul dan ibunya berpose di Pantai Bebas Parapat

Karena kalimat itu mengingatkanku pada alasan terbesar kenapa aku memilih menjadi pemandu wisata:

Pariwisata bukan hanya tentang destinasi.
Ia adalah pertemuan manusia dengan manusia.
Perjumpaan hati dengan tanah yang dipijak.

Selama kakiku masih mampu melangkah, aku akan terus mengajak tamu-tamuku menyusuri Kampung Girsang dan Parapat, agar mereka tahu bahwa Danau Toba bukan sekadar tujuan liburan.

Ia adalah rumah bagi sejarah, budaya, dan cinta yang tak pernah padam.
Dan aku… bangga menjadi bagian dari kisah itu.(*)

Penulis/Butet (Damayanti Sinaga)