Tobaria,- Demi membantu berbagai permasalahan yang dihadapi Dunia, Jakarta scholars Symposium (JJS) mengadakan gelaran simposium bertema ‘Saving Our Earth’ di Soehana Hall, Jakarta. Acara simposium perdana ini berhasil menghadirkan 12 karya anak bangsa sebagai solusi terhadap berbagai macam permasalahan dunia antara lain isu lingkungan dan nutrisi. 

Kegiatan ini menjadi simposium perdana bagi JSS dengan menghadirkan 12 karya yang menjadi solusi nyata bagi permasalahan yang menjadi perhatian dunia. Hebatnya, pada kegiatan ini, para peserta bukan hanya mempresentasikan ide sesuai dengan minat mereka namun juga menunjukkan hasil aksi nyata nya yang telah terbukti dan memiliki keterdampakan bagi perubahan. 

Jakarta scholars Symposium (JSS) merupakan koalisi nirlaba yang independen dan dedikasikan menjadi wadah bagi generasi muda yang memiliki mimpi untuk melakukan perubahan dan memimpin generasinya dengan menciptakan kesadaran terhadap topik-topik yang menjadi perhatian dunia. 

Adapun beberapa karya unik yang ikut dipamerkan pada simposium yang digelar Rabu (24/5) kemarin, diantaranya proyek usaha mereduksi jejak karbon, proyek konservasi air bersih, proyek pengembangan beras fortifikasi, dan lain sebagainya. 

Salah satu karya yang menonjol dan mendapatkan banyak apresiasi adalah karya Stefan Frederick Atmadja, Siswa kelas 11 SMA Jakarta Intercultural School. Ide yang dipresentasikannya adalah mengubah tanaman gulma eceng gondok yang merusak Danau Toba menjadi pupuk bagi para petani. 

Pupuk organik yang berasal dari eceng gondok di Danau Toba tersebut Stefan beri nama Steba, singkatan dari Sahabat Petani Toba. Pupuk inipun telah diuji dan hasilnya dinyatakan sebagai pupuk yang kualitasnya di atas rata-rata, serta dapat meningkatkan produktivitas petani. Stefan membuat produk ini bermula atas keprihatinan ketika melihat indahnya Danau Toba yang tertutup eceng gondok. 

“Padahal Danau Toba adalah danau vulkanik terbesar di dunia yang sangat indah dan menjadi salah satu Global Geopark UNESCO. Namun sayangnya tertutup oleh eceng gondok yang pertumbuhannya tidak terkontrol,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (25/5). 

Lebih lanjut Stefan mengatakan tanaman eceng gondok yang menutupi danau menimbulkan 3 persoalan. Pertama, kerapatan eceng gondok menghalangi sinar matahari sehingga menghambat proses fotosintesis organisme di dalam danau.

“Kedua, mengurangi kadar oksigen yang akan menghambat pertumbuhan makhluk hidup lainnya. Dan yang ketiga, persoalan pariwisata. Karena dapat mengurangi keindahan pemandangan yang kemudian akan berakibat pada menurunnya daya tarik pariwisata,” terangnya.

Stefan menegaskan tujuan proyek tersebut adalah untuk mengembalikan keindahan Danau Toba dan sekaligus mengubah eceng gondok menjadi sesuatu yang mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

“Yaitu dengan mengumpulkan dan memproses eceng gondok tersebut menjadi pupuk. Kandungan nitrogen dalam eceng gondok cukup tinggi yang tentu saja merupakan material yang baik untuk pupuk,” jelasnya.

Selain telah mengantongi hasil uji laboratorium dari Sucofindo, produk pupuk hayati tersebut juga telah digunakan oleh sejumlah petani di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. 

“Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, penggunaan pupuk dari eceng gondok pada tanaman padi mempercepat pertumbuhan padi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan pupuk tersebut. Saya harap, proyek ini dapat memberikan impact untuk meningkatkan produktivitas para petani, dan sekaligus membuat danau kembali indah serta mempertahankan nilai pariwisata Indonesia,” katanya.

Dalam presentasinya, Stefan menjelaskan dari awal proses bagaimana pupuk tersebut tercipta dari tanaman eceng gondok yang dianggap sebagai tanaman berjenis gulma tersebut, mulai dari pengumpulan, pencacahan, pengeringan, hingga proses fermentasi.

Sementara itu, Head of Communication YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara) Sally Kailola mengapresiasi simposium yang digelar JSS. “Setelah menyaksikan pemaparan yang dilakukan para siswa, saya sangat kagum dan sekaligus bangga. Ini adalah loncatan luar biasa, di mana para pelajar sebagai generasi muda ini telah memberikan kontribusi nyata, yaitu solusi atas permasalahan-permasalahan yang ditemukan. Mereka inilah yang akan membuat perubahan di masa depan,” tuturnya. (*)